PONOROGO dan ANGKRINGAN
(Fenoma dan Peluang)
Menikmati suasana sore hari dengan secangkir minuman hangat, sambil menyaksikan lalu lalang kendaraan merupakan aktivitas menarik buat warga Ponorogo, khususnya "cah enom" (pemuda).
Bila senja mulai tiba, ratusan cah enom Ponorogo mulai mempersiapkan diri untuk menyambut Jalan-jalan Sore (JJS). Mereka biasanya keliling kota, nongkrong di sudut keramaian, ngangkring, dsb. Apalagi sekarang sudah banyak tersedia warung kopi pinggir jalan atau bahasa ngetrendnya ANGKRINGAN. Hampir disetiap sudut keramaian sudah dipenuhi dengan para pedagang yang menjajakan makanan dan minuman tradisional ini. Dengan bermodalkan sebuah gerobak, 3 tempat duduk kayu panjang dan beberapa tikar, sebuah ANGKRINGAN dapat anda kelola dengan hasil yang menggiurkan.
Usaha yang mulai ngetrend di Ponorogo awal tahun 2000 ini, mengalami peningkatan secara tajam. Mungkin waktu itu, di kota Ponorogo hanya ada beberapa ANGKRINGAN. Dulu di Ponorogo lebih mengenal warung kopi (WARKOP), istilah ANGKRINGAN sebenarnya berasal dari daerah JAWA TENGAH, yaitu: ...ANGKRINGAN (Warung dengan sajian utama Nasi (Sego) Kucing yang legendaris dan fenomenal)
ANGKRINGAN. Satu kata ini memang identik sekali dengan daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Angkringan berasal dari kata angkring atau nangkring yang artinya duduk santai. Nangkring dalam bahasa Jawa berarti duduk dengan posisi nyaman, terkadang dengan mengangkat salah satu kaki ke kursi. Angkringan adalah sebuah warung makanan dan minuman berbentuk gerobak yang ditutup dengan terpal atau tenda plastik. Kira-kira 8-10 orang pembeli bisa mengisi angkringan, kecuali apabila ia juga memiliki tikar yang cukup luas untuk menampung pembeli yang lain.
Saat ini, ANGKRINGAN di Kota Ponorogo sudah seperti jamur di musim penghujan. Pedagangnya pun sangat beragam, mulai dari bapak-bapak, hingga pemuda kreatif yang tidak mengenal gengsi akan sebuah pekerjaan. Hal ini tentu dapat mengurangi jumlah pengangguran, biasanya setiap angkringan menyediakan 1 - 2 tenaga untuk melayani pembelinya.
Lampu minyak sebagai penambah penerangan biasanya tersedia di setiap angkringan tersebut,. Mungkin bagi sebagian orang menganggap ANGKRINGAN mempunyai kesan murahan atau kelas rendahan. Kenyataannya konsumen terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari tukang becak, mahasiswa, budayawan dan seniman, karyawan hingga eksekutif kadang tak sungkan menghabiskan malam untuk menyantap makanan dan minum teh jahe di Angkringan.
Angkringan menjadi istimewa karena terjadi proses interaksi warga dari bermacam kalangan. Angkringan adalah sebuah sistem paling sederhana yang sebenarnya pantas menjadi model untuk suatu hubungan komunitas sosial, meskipun tidak bisa mencakup semua aspek.
Egaliter atau sederajat adalah ciri utama komunitas angkringan. Tidak peduli siapa yang datang ke angkringan. apabila sudah datang ke angkringan, ia harus siap berbaur tanpa menyandang jabatan apapun, mau dia rakyat kebanyakan, pelajar, mahasiswa, doktor, insinyur, pengacara, eksekutif perusahaan, pejabat pemerintah, haji, atau yang lainnya. Inilah yang membuat komunitas angkringan menjadi akrab.
Di angkringan terjadi proses interaksi sosial yang unik tanpa pembatas, materi obrolan sangat beragam dan multi dimensi, dengan alokasi waktu yang tidak ditentukan. Arus informasi yang ada cukup deras serta lintas kementrian. Tidak ada pembeda antara pembicara dan pendengar, semua boleh berbicara sekaligus mendengarkan. Tidak perlu lobi atau kompromi, tidak ada quorum atau daftar hadir, tidak ada kesimpulan atau keputusan. Sangat egaliter.
Angkringan biasanya buka dari pukul 17.00 WIB sampai 00.00 WIB atau sampai dagangan habis. Selain kopi, teh, wedang jahe, menu makanan yang disajikan cukup bervariasi diantaranya: Nasi kucing, Pia-pia atau Ote-ote, Tahu Isi Sayur, Ceker Bacem, Ndas Ayam Goreng, Tempe Goreng, dll.
Sebuah Angkringan rata-rata perhari dapat meraup omset 300 - 500 ribu rupiah. Tergantung kondisi cuaca dan acara di seputaran kota Ponorogo. Misalnya ada event musik/konser artis, penghasilan pedagang angkringan dapat mencapai nominal 6 digit. Asumsi perhitungan pendapatan sebuah angkringan perhari = Rp. 300.000 X 30 hari = Rp. 9.000.000 (kotor)
Wow, sebuah angka yang cukup besar dengan modal yang tidak terlalu besar. Mungkin hal inilah salah satu penyebab, kenapa bisnis angkringan di Ponorogo berkembang pesat.
Anda berminat dengan bisnis angkringan?
MARI JADIKAN KULINER INDONESIA RAJA DI NEGERI SENDIRI.
(Dari berbagai sumber)
Muhammad Ferry Afriandy
0 comments:
Posting Komentar